Home » » Dimana Allah..?, Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani

Dimana Allah..?, Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani

| 0 komentar

Warung Islam-Suatu ketika syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah pernah bertemu dg salah seorang pemimpin partai Islam (dari Aljazair), Ali bin Hajj. Syaikh mengetahui sangat detail tentang kejadian yg terjadi pd mereka, & telah sampai berita kepada beliau bahwa partai mereka mendapat dukungan jutaan pendukung. Diantara pertanyaan yg dilontarkan syaikh kepadanya yaitu yg saya nukil secara ringkas disini:
Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani rahimahullah bertanya: "Apakah setiap orang yg bersamamu (yang mendukung partaimu) mengetahui bahwa Allah bersemayam di atas Arsy?
Setelah terjadi dialog, dimana Ali bin Hajj berupaya utk lari dari pertanyaan syaikh Al-Albani, & syaikh-pun berupaya utk menutup jalan keluar dari pertanyaan diatas, dia menjawab pertanyaan beliau dg mengatakan: "Kami berharap demikian."
Syaikh berkata kepadanya: "Tinggalkan jawabanmu yg bersifat politis ini!"
Lalu, diapun menjawab dg tegas bahwasanya mereka tdk mengetahui hal itu. Maka, syaikh berkata: "Cukuplah bagiku jawabanmu ini!"

Prinsip Tasfiyyah (pemurnian) & Tarbiyyah (mendidik) mengharuskan pertanyaan diatas yg merupakan barometer yg paling tepat. Dengannya akan diketahui hakekat berbagai dakwah/jama'ah-jama'ah pd zaman ini yg menyerukan jihad. Sebab, orang yg tdk mampu memurnikan akidah para pendukung & pecintanya, tentu ketidak mampuannya akan lebih nampak pd pemurnian (buah dari aqidah tersebut), baik dalam akhlak, perilaku maupun dalam berbagai amal perbuatan mereka. Padahal diantara mereka (pendukungnya) ada orang yg membenci & memeranginya, maka bagaimana mungkin ia dapat membina mereka sesudah itu? Sedangkan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"Artinya: Sesungguhnya Allah tdk akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yg ada pd diri mereka sendiri." (Ar-Ra'd: 11)
Selanjutnya, jihad itu sendiri tdk akan terwujud kecuali dg sebuah umat yg hati mereka bersatu. Karena bersatunya hati akan sangat menunjang bagi perolehan kemenangan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
"Artinya: Dialah yg memperkuatmu dg pertolongan-Nya & dg orang-orang mu'min, & yg mempersatukan hati mereka." (Al-Anfaal: 62-63)
Sedangkah hati-hati itu, jika tdk disatukan diatas aqidah salafus shalih, niscaya mereka akan selalu berada dalam perselisihan yg tdk akan mungkin dapat disatukan dg persatuan mereka melalui kotak-kotak pemilihan umum.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dg mengarahkan firman-Nya kepada para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, semoga ridha Allah atas mereka.
"Artinya: Maka jika mereka beriman kepada apa yg telah kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk ; & jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan denganmu." (Al-Baqarah: 137)
Bagaimanapun yg telah diupayakan oleh para "Buih politik" itu, berupa pengumpulan (masa pendukung), namun sesungguhnya permulaan aqidah mereka mengarah kepada suatu sikap "Tamyi" (sikap menerima siapa saja yg mendukung mereka tanpa memperhatikan aqidah yg dianutnya) & akan berakhir dg perpecahan & saling membid'ahkan.
Hal itu disebabkan karena pertemuan/persatuan yg bersifat jasmani tdk akan terwujud, kecuali hanya bersifat sementara bilamana ikatan hati bercerai-berai. Dan saya tdk menjumpai suatu sifat (gambaran) yg lebih tepat & benar utk menggambarkan kondisi mereka, daripada apa yg telah difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala perihal orang-orang Yahudi:
"Artinya: Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat. Kamu mengira mereka itu bersatu, padahal hati-hati mereka terpecah-belah." (Al-Hasyr: 14)
Intinya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan kekuasan yg baik bagi hamba-Nya yg beribadah kepada-Nya saja. Tanpa menyekutukan-Nya, Allah berfirman:
"Artinya: Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yg beriman di antara kamu & mengerjakan amal-amal yg saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yg sebelum mereka berkuasa, & sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yg telah diridhai-Nya utk mereka, & Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap beribadah kepada-Ku dg tdk mempersekutukan sesuatu apapun dengan-Ku” (An-Nur: 55)
Bagian terdepan ayat ini tdk boleh ditolak dg memberikan perumpamaan-perumpamaan sejarah utk membatalkannya, karena seorang muslim adalah orang yg senantiasa berhenti pd nash (ayat al-Qur'an & hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), lagi pula Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman.
"Artinya: Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tdk mengetahui." (An-Nahl: 74)
Adapun pembatasan syaikh Al-Albani rahimahullah akan pertanyaannya pd masalah istiwa (bersemayamnya Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas singgasana-Nya) disebabkan karena masalah istiwa merupakan persimpangan jalan yg memisahkan antara ahlussunnah & para pengikut hawa nafsu. Lagi pula ia merupakan masalah aqidah yg mudah lagi gampang diketahui oleh masyarakat yg hidup bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yg mana mereka telah menaklukkan dunia ini & memimpin umat-umat yg beraneka ragam. (Aqidah ini telah diketahui oleh mereka). Bahkan oleh seorang wanita penggembala kambing sekalipun.
Ujian itu dilakukan oleh syaikh Al-Albani dg menanyakan masalah ini kepada pemimpin partai politik tersebut, yg beranggapan bahwa partainya telah sempurna agamanya & berada di atas garis kejahilan (orang-orang yg hidup) di zamannya. Ujian ini merupakan jalan / cara yg ditempuh oleh para salafus shalih, meskipun dibenci oleh setiap khalaf (orang yg datang sesudah mereka) yg tdk menempuh jalan & cara mereka.
Imam Muslim & lainnya telah meriwayatkan dari Muawiyyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.
"Artinya: Aku memiliki sekawanan kambing yg berada diantara gunung Uhud & Jawwaniyah, disana ada seorang budak wanita. Suatu hari aku memeriksa kambing-kambing itu, tiba-tiba aku dapati bahwa seekor serigala telah membawa (memangsa) salah satu diantara kambing-kambing itu, sementara aku seorang manusia biasa, aku menyesalinya, lalu aku menampar wanita itu. Kemudian kudatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam & kuceritakan kejadian tersebut kepadanya, beliaupun membesarkan peristiwa itu atasku, maka kukatakan (kepadanya): 'Wahai Rasulullah, tidakkah (lebih baik) aku memerdekakannya?' Beliau berkata: 'Panggillah ia!' Lalu aku memanggilnya, maka beliau berkata kepadanya: 'Dimana Allah?' Wanita itu menjawab: 'Diatas'. Beliau bertanya lagi: 'Siapakah aku?' Ia menjawab: 'Engkau adalah utusan Allah!' Beliau berkata: 'Bebaskanlah (merdekakanlah dia)! karena sesungguhnya dia adalah seorang wanita yg beriman'." (Ahmad V/447, Muslim No. 537)
Maka, perhatikanlah dg seksama masyarakat tersebut (semoga Allah merahmati anda), yg mana Rasulullah berjihad bersama mereka, aqidah mereka sempurna (merata) hingga pd para penggembala kambing, yg mana perjumpaan (pergaulan) mereka dg Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya sedikit, seperti wanita penggembala kambing ini. Dan cobalah anda perhatikan dg seksama realita masyarkat Islam di zaman ini memanjat kursi-kursi kekuasaan, -jika anda memperhatikan dg seksama- pasti akan anda dapatkan perbedaan yg sangat jauh antara jihad (perjuangan) mereka dg perjuangan masyarakat muslimin yg pertama.
Maka, mampukah kelompok-kelompok jihad itu menyatukan para pengikut (mereka) diatas aqidah “ainallah” (dimana Allah)?
Ataukah pertanyaan ini sudah menjadi sesuatu yg ditertawakan & jarang dipertanyakan oleh kelompok-kelompok itu di zaman yg telah dipengaruhi kemajuan ini? Ataukah pertanyaan ini telah menjadi sesuatu yg diperolok-olokan oleh para pengasuh jama'ah-jama'ah itu? Ataukah mereka telah memahami pentingnya berhukum dg hukum yg diturunkan Allah Azza wa Jalla, meskipun mereka menyia-nyiakan Allah Azza wa Jalla?
Maka, kapankah Allah Azza wa Jalla akan mengizinkan utk melepaskan, membebaskan & memerdekakan mereka dari orang-orang yg menghinakan mereka sebagaimana telah dibebaskannya budak wanita itu setelah ia mengenal Allah?
"Artinya: Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tdk mengetahuinya." (Yusuf: 21)
Hakikat pertanyaan ini (dimana Allah) adalah upaya utk menampakkan hakikat/jati diri dakwah-dakwah itu serta memperjelas, sejauh mana keikhlasan niat-niat (mereka). Sebab, dalam perhatian yg dicurahkan pd permasalahan hukum mengandung perhatian terhadap syariat & dalam perhatian yg dicurahkan kepada masalah istiwa' (bersemayamnya Allah Azza wa Jalla diatas 'Arsy/singgasana-Nya), mengandung perhatian terhadap hak Allah. Namun, diantara kedua perhatian diatas terdapat perbedaan, yaitu bahwasannya pd perhatian yg pertama (terhadap hukum) seorang hamba memperoleh bagian utk dirinya berupa apa yg sering diucapkan diatas lisan, seperti pengembalian segala sesuatu yg diambil secara zhalim (kepada pemiliknya), pemenuhan segala hak-hak (bagi mereka yg berhak menerimanya) & kehidupan yg senantiasa tercukupi yg benar-benar telah dijanjikan Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya:
"Artinya: Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman & bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit & bumi" (Al-A'raaf: 96)
Artinya, bagian (hak) seorang hamba bercampur (berhubungan erat) dg hak Allah. Adapun perhatian terhadap "Sifat istiwa' Allah Azza wa Jalla diatas singgasana-Nya" merupakan perhatian yg murni terhadap hak Allah Azza wa Jalla semata. Seorang yg mengajak menusia kepada penetapan & iman kepada sifat ini tdk mendapat bagian utk kepentingan pribadinya sendiri sedikitpun.
Maka, perhatikanlah secara seksama perbedaan ini, pasti anda akan mengetahui kemuliaan sebuah keikhlasan. Sebab, dengungan seputar permasalahan "Hukum sesuai dg apa yg diturunkan Allah Azza wa Jalla " yg disertai dg sikap menganggap enteng terhadap permasalahan sifat-sifat Allah Azza wa Jalla yg murni / mengakhirkannya / menjadikannya sebagai suatu masalah yg berada pd urutan terakhir, semua itu merupakan bukti terbesar yg menunjukkan bahwa pd urutan tersebut terdapat suatu cacat. Padahal sifat-sifat Allah Azza wa Jalla adalah sesuatu yg paling mulia yg diturunkan-Nya, karena kemuliaan suatu ilmu tergantung pd kemuliaan yg dipelajari dalam ilmu tersebut. Sebagaimana yg telah disebutkan di atas.
Semua ini semakin memberi penekanan yg kuat kepada kita akan pentingnya merujuk (kembali) kepada dakwah / ajakan para Nabi alaihimussalam yg telah menyatakan kepada umat-umat mereka:
"Artinya: Beribadahlah kepada Allah, sekali-kali tak ada ilah (yang sebenarnya) bagimu selain Dia." (Al-A'raaf: 59)
Maka, dahulukanlah perhatian terhadap kesyirikan yg terjadi di kuburan-kuburan atas kesyirikan yg terjadi di istana-istana, jika ungkapan ini pantas utk diucapkan, oleh sebab itulah, maka masalah imamah (kekhalifahan/ kepemimpinan) bukan merupakan bagian dari rukun-rukun iman, renungkanlah !!!
(Diterjemahkan dari kitab Sittu Durror karya Syaikh Abdul Malik Al-Jazairi, oleh Abu Abdillah)
(Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah Edisi 11 th. II Sya’ban 1425H/Oktober 2004M. Diterbitkan Ma’had Ali-AlIrsyad Surabaya, Alamat Perpustakaan Bahasa Arab Ma’had Ali Al-Irsyad Jl. Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya)
Penulis: Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani & diterbitkan oleh almanhaj.or.id
>
Share this article : Print Friendly and PDF
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Hamba Allah | Warung Islam
Copyright © 2011. Warung Islam - All Rights Reserved
Template Modify by Liwaul Hamdi Tanjung
Proudly powered by Blogger